Pola belajar Maulanasykh Zainuddin Abdul Majid yang sulit di Tiru Sahabat Sahabatnya Diriwayatkan oleh sahabatnya seorang seykh di Jawa| Cinta NW

click untuk perbesar
  Pendidikan Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid

Perjalanan Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid dalam menuntut ilmu pengetahuan diawali dengan pendidikan yang dilakukan di dalam lingkungan keluarga. Beliau belajar mengaji membaca al-Quran dan berbagai ilmu agama lainnya kepada ayahandanya sendiri, Tuan Guru KH. Abdul Majid.

Pendidikan yang diberikan oleh ayahnya tersebut dimulai semenjak beliau berusia 5 tahun dan kemudian memasuki pendidikan formal semenjak berusia 9 tahun. Sekolah formal yang beliau mesuki adalah sekolah umum yang pada saat itu disebut dengan Sekolah Rakyat Negara (Sekolah Gubernemen) di Selong Lombok Timur. Di sekolah tersebut beliau belajar selama 4 tahun hingga tahun 1919 M.

Setelah menamatkan pendidikan formalnya pada Sekolah Rakyat Negara pada tahun 1919 M, ia kemudian diserahkan oleh ayahnya untuk belajar ilmu pengetahuan agama yang lebih luas lagi pada beberapa kyai lokal saat itu, antara lain Tuan Guru KH. Syarafuddin dan Tuan Guru KH. Muhammad Sa’id dari Pancor serta Tuan Guru KH. Abdullah bin Amaq Dulaji dari Kelayu Lombok Timur. Dari beberapa kyai ini, Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin selain mempelajari ilmu-ilmu agama dengan menggunakan kitab-kitab Arab Melayu, juga secara khusus mempelajari ilmu-ilmu gramatika bahasa Arab, seperti ilmu nahwu dan sharaf.

Pola pengajaran yang dilakukan oleh kyai-kyai lokal ini masih bersifat klasik, yaitu masih menggunakan sistem halaqoh, yang dalam pembelajarannya murid-murid duduk bersila dan sang guru memberi pengajaran dengan membacakan kitab yang dipelajari kemudian para murid masing-masing membacanya saling bergantian satu persatu.

Bagi Tuan Guru KH. Syarafuddin, Muhammad Saggaf merupakan murid yang istimewa. Keistimewaan tersebut mendorong gurunya untuk membebaskannya dari membanntu gurunya bekerja di sawah. Pada saat itu murid-murid yang mengaji di rumah seorang tuan guru tidak dipungut bayaran. Sebagai gantinya, mereka dihariskan berkerja di sawah tuan guru tersebut.

Berbeda dengan Muhammad Saggaf, karena keinginan kuat ayahnya agar ia menjadi murid yang pandai, ayahnya sanggup dengan membayar dengan 200 ikat padi setahun (sekitar 2 ton padi atau gabah), sebagai ganti kewajiban bekerja di sawah. Maksud ayahnya dengan kesediaan ini adalah agar anaknya tidak terganggu aktivitas belajarnya sehingga ia berkonsentrasi pada pelajarannya.

 Belajar ke Tanah Suci Makkah

Menjelang musim haji pada saat itu sekitar tahun 1923 M, Muhammad Saggaf yang pada saat itu tengah berusia 15 tahun, berangkat ke Tanah Suci Makkah untuk melanjutkan studinya, memperdalam berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan islam dengan diantar langsung oleh kedua orangtuanya bersama adiknya, yaitu Muhammad Faishal dan Ahmad Rifa’i serta seorang kemenakannya.

Bahkan pada saat itu salah seorang gurunya ikut serta dalam rombangan itu, yaitu Tuan Guru KH. Syarafuddin dan beberapa anggota keluarga dekat lainnya.

Beliau belajar di Tanah Suci Makkah selama 12 tahun. Di kota suci itu beliau mula-mula belajar di Masjidil Haram. Ayahnya sangat selektif dalam mencarikan dan menentukan seorang guru yang akan mengajar dan mendidik putra kesayangannya itu. Ayahandanya meyakini bahwa seorang guru adalah sumber ilmu dan kebenaran serta menjadi contoh dan panutan bagi muridnya dalam segala aspek kehidupan baik dalam pola berfikir dan berperilaku, sehingga ilmu dan didikan yang diperoleh sang murid berguna dan bermanfaat bagi kehidupan baik di dunia dan di akhirat.

Berhari-hari bahkan berbulan-bulan ayahnya sibuk mencarikannya seorang guru yang tepat dan cocok untuk mengajari dan mendidik anaknya. Kemudian bertemulah ayahnya dengan seorang syaikh yang belakangan dikenal dengan Syaikh Marzuki. Dari cara dan metode yang digunakan dalam mengajar, Tuan Guru KH. Abdul Majid merasa cocok jika syaikh tersebut menjadi guru bagi anaknya.

Syaikh Marzuki adalah seorang keturunan Arab kelahiran Palembang. Ia sudah lama tinggal di Makkah dan mengajar mengaji di Masjidil Haram. Ia fasih berbahasa Indonesia dan Arab. Kebanyakan muridnya berasal dari Indonesia. Ada yang berasal dari Palembang, Jawa Barat, Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur maupun Lombok.

Salah seorang murid Syaikh Marzuki yang berasal dari Lombok bernama H. Abdul Kadir dari desa Mamben Lombok Timur. H. Abdul Kadir sudah setahun lebih belajar di Makkah pada waktu itu.

Namun pada akhirnya Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid merasakan ketidakcocokan terhadap Syaikh Marzuki karena dirasa tidak banyak mengalami perkembangan yang berarti dalam menuntut ilmu. Karena pada saat itu sang guru mengajarkan kitab gundul yang tidak memiliki baris sedangkan beliau masih murid baru dan dapat dikatakan masih awam dalam mempelajari kitab-kitab gundul yang tidak memiliki baris tersebut, sehigga beliau berfikiran ingin memulai pelajarannya dari awal agar mampu membaca dan memahami makna yang terkandung dalam kitab gundul tersebut. Setelah ayahnya pulang ke Lombok beliau langsung berhenti belajar mengaji pada Syaikh Marzuki.


Pada hari pertama beliau masuk di Madrasah ash-Shaulatiyah Makkah beliau bertemu dengan Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath yang nantinya akan menjadi gurunya yang hubungannya paling dekat.Di sana juga ia bertemu as-Sayyid al-Habib Muhsin al-Musawa, diantara temannya sewaktu belajar syair pada as-Sayyid Amin al-Kutbi, yang ternyata juga sebagai salah seorang guru di Madrasah ash-Shaulatiyah.

Sudah menjadi tradisi di Madrasah ash-Shaulatiyah Makkah bahwa setiap murid baru yang masuk harus mengikuti tes untuk menentukan kelas yang tepat dan cocok untuk murid baru tersebut. Demikian juga halnya dengan Muhammad Zainuddin, beliau juga diuji terlebih dahulu. Beliau diuji langsung oleh Syaikh Salim Rahmatullah dan Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath.


Akhirnya Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath menentukan ia masuk di kelas III. Padahal beliau belum terlalu menguasai ilmu nahwu dan sharaf yang diajarkan di kelas II. Mendengar keputusan tersebut, kemudian beliau meminta untuk diperkenankan masuk di kelas II, dengan alasan ingin mendalami mata pelajaran nahwu dan sharaf. Walaupun pada awalnya Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath bersikeras dengan keputusannya, namun argumentasi yang dikemukakan oleh Muhammad Zainuddin membuatnya berfikir kembali. Kemudian Syaikh Hasan pun mengabulkan permohonannya, dan resmilah beliau diterima di kelas II.

Di Madrasah ash-Shaulatiyah ini, Muhammad Zainuddin mulai tekun belajar. Ia ingin membuktikan kemampuannya menguasai ilmu dengan baik. Di malam dan sore hari beliau belajar kepada beberapa guru yang lain.Di rumah juga beliau manghabiskan waktunya untuk belajar. Salah satu bentuk ketekunannya dalam belajar adalah besarnya porsi waktu yang disediakan untuk membaca kitab-kitab mulai dari setelah shalat Tahajjud sampai waktu shalat Shubuh tiba.

Pernah suatu ketika beliau tertidur pada saat membaca kitab, padahal di hadapannya terdapat sebuah lampu minyak sebagai alat penerang beliau dalam membaca. Tanpa beliau sadari sorbannya terlalap api dari lampu minyak tersebut dan terbakar. Mencium bau benda terbakar, ibunya pun terbangun, sementra beliau masih tertidur dengan lelapnya. Kemudian ibunya pun berteriak membangunkannya. Beliaupun terkejut dan terbangun.

Kebiasaan beliau membaca dan belajar dalam waktu yang cukup lama menyebabkan mata beliau mengalami gangguan. Meskipun demikian beliau masih tetap mampu mempertahankan kebiasaan membaca dan belajarnya tersebut sampai waktu yang cukup lama.Ketekunannya dalam belajar membuahkan hasil. Beberapa orang gurunya mengakui bahwa beliau tergolong murid yang cerdas. Syaikh Salim Rahmatullah sebagai kepala Madrasah ash-Shaulatiyah selalu mempercayakan beliau untuk menghadapi Penilik Madrasah pemerintah Saudi yang sering kali datang ke madrasah itu. Penilik madrasah itu menganut faham Wahabi. Dan beliaulah satu-satunya murid Madrasah ash-Shaulatiyah yang dianggap menguasai faham Wahabi.

Pertanyaan penilik itu biasanya menyangkut soal-soal hukum ziarah kubur, tawassul kepada anbiya’ dan auliya’, bernadzar menyembelih kambing berbulu hitam atau putih dan sebagainya. Dan beliau selalu berhasil menjawab pertanyaan penilik itu dengan memuaskan.

Prestasi akademiknya sangat membanggakan, ia berhasil meraih peringkat pertama dan juara umum. Disamping itu, dengan kecerdasan yang luar biasa, ia berhasil menyelesaikan studinya dalam kurun waktu 6 tahun. Padahal waktu belajar normal adalah 9 tahun, yaitu mulai dari kelas I sampai dengan kelas IX. Dari kelas II, ia langsung ke kelas IV. Tahun berikutnya ke kelas VI, dan kemudian pada tahun-tahun berikutnya secara berturut-turut naik ke kelas VII,VIII dan IX.Sahabat sekelas Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin bernama Syaikh Zakaria Abdullah Bila, mengakui kejeniusannya dan mengatakan: “Syaikh Zainuddin itu adalah manusia ajaib di kelasku, karena kejeniusannya yang tinggi dan luar biasa dan saya sungguh menyadari hal ini. Syaikh Zainuddin adalah saudaraku, dan kawan sekelasku dan saya belum pernah mampu mengunggulinya dan saya tidak pernah menang dalam berprestasi pada waktu saya bersama-sama dalam satu kelas di Madrasah ash-Shaulatiyah Makkah.”

Predikat istimewa ini disertai pula dengan perlakuan istimewa dari Madrasah ash-Shaulatiyah. Ijazahnya ditulis langsung oleh ahli khat terkenal di Makkah, yaitu al-Khathath asy-Syaikh Dawud ar-Rumani atas usul dari direktur Madrasah ash-Shaulatiyah. Prestasi istimewa itu memerlukan pengorbanan, ibu yang selalu mendampingi selama belajar di Madrasah ash-Shaulatiyah berpulang ke rahmatullah di Mekah.Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid menyelesaikan studinya di Madrasah ash-Shaulatiyah pada tanggal 22 Dzul Hijjah tahun 1353 H dengan predikat “mumtaz” (Summa Cumlaude).

Setelah tamat dari Madrasah ash-Shaulatiyah, Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin tidak langsung pulang ke Lombok, tetapi bermukim lagi di Makkah selama dua tahun sambil menunggu adiknya yang masih belajar, yaitu Muhammad Faisal. Waktu dua tahun itu dimanfaatkan untuk belajar antara lain belajar ilmu fiqh kepada Syaikh Abdul Hamid Abdullah al-Yamani. Dengan demikian, waktu belajar yang ditempuh selama di Tanah Suci Makkah adalah 13 kali musim haji atau kurang lebih 12 tahun. Ini berarti selama di Mekah sempat mengerjakan ibadah haji sebanyak 13 kali.

Para guru yang mengajarkan al-Quran dan kitab Melayu di Lombok diantaranya adalah:
Tuan Guru KH. Abdul Majid
Tuan Guru KH. Syarafuddin Pancor Lombok Timur
Tuan Guru KH. Abdullah bin Amak Dujali Kelayu Lombok Timur.
Adapun para guru beliau di Madrasah ash-Shaulatiyah Makkah adalah:
Asy-Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath
Asy-Syaikh Umar Bajunaid asy-Syafi’i
Asy-Syaikh Muhammad Said al-Yamani asy-Syafi’i
Asy-Syaikh Ali al-Maliki
Asy-Syaikh Marzuqi al-Palimbani
Asy-Syaikh Abubakar al-Palimbani
Asy-Syaikh Hasan Jambi asy-Syafi’i
Asy-Syaikh Abdul Qadir al-Mandili asy-Syafi’i
Asy-Syaikh Mukhtar Betawi asy-Syafi’i
Asy-Syaikh Abdullah al-Bukhari asy-Syafi’i
Asy-Syaikh Umar Hamdan al-Mihrasi al-Maliki
Asy-Syaikh Abdussattar ash-Shiddiqi Abdul Wahab al-Kutbi al-Maliki;
Al-‘Allamah al-Kabir al-Syeikh
Asy-Syaikh Abdul Qadir asy-Syibli al-Hanafi
Asy-Syaikh Muhammad Amin al-Kutbi al-Hanafi
As-Sayyid al-Habib Muhsin al-Musawa asy-Syafi’i
Asy-Syaikh Khalifah al-Maliki
Asy-Syaikh Jamal al-Maliki
Asy-Syaikh Muhammad Shalih al-Kalantani asy-Syafi’i
 Asy-Syaikh Mukhtar al-Makhdumi al-Hanafi
Asy-Syaikh Salim Cianjur asy-Syafi’i
As-Syayid Ahmad Dahlan Shadaqi asy-Syafi’i
Asy-Syaikh Salim Rahmatullah al-Maliki
Asy-Syaikh Abdul Gani al-Maliki
As-Syayid Muhammad Arabi at-Tubani al-Jazairi al-Maliki
Asy-Syaikh Umar al-Faruqi al-Maliki
Asy-Syaikh Abdullah al-Farisi
Asy-Syaikh Malla Musa.


Jika diklasifikasikan guru-gurunya berdasarkan latar belakang madzhab yang berbeda, maka akan terlihat kategorisasi madzhab sebagai berikut: 11 orang bermadzhab Syafi’i, 6 orang bermadzhab Hanafi dan 11 orang bermadzhab Maliki.

Berdasarkan kategorisasi madzhab di atas terlihat jelas bahwa semua guru-guru beliau masih berada dalam satu landasan teologi yang sama, yakni faham Ahlussunnah wal Jama’ah. Dengan kata lain, bahwa tidak ada seorang pun gurunya yang menganut faham teologi yang berbeda, seperti Mu’tazilah, Syi’ah ataupun Wahabi.


Share:

0 ulasan:

Post a Comment

TERIMA KASIH TELAH BERKUNJUNG PECINTA NAHDATUL WATHAN/ POKOKNYA NW / POKOK NW IMAN DAN TAQWA / cintanw.blogspot.com
SEPUTAR SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM DI NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSANTARA INDONESIA

HIMPUNAN SEJARAH

Popular Posts