Sepenggal Kisah Waliyullah Dari Lombok TGKH Ahmad tretetet | Cinta NW

Napak tilas, makam para Wali berlanjut. Kini, giliran sekelumit kisah Penjaga Makam Datuk Asysyaikh Tuan Guru Haji Ahmad Tretetet yang membagi kisahnya tentang sang Guru nyentrik dan kontroversial, semasa masih hidup. Berikut laporannya.

SUNGGUH sejuk. Angin bertiup semilir dan basah. Menerobos celah-celah dedaunan di pemakaman Karang Kelok, Mataram. Pohon-pohon besar dan rindang, makin menyempurnakan tempat itu. Terasa benar-benar nyaman.

Wanita senja itu, terus saja mengibaskan sapu lidi. Tekun. Sampai tak sadar koran ini mendekatinya. Ia masih membunguk.“Waalaikum salam…” jawabnya, setengah terperanjat.

Benar, ia rupanya tak menyadari kedatangan koran ini. Meski demikian, khas perempuan kampung, tutur katanya luar biasa santun dan ramah.

Nama wanita itu, Sakiyah. Awalnya, koran ini sulit mempercayai, jika umur wanita itu sudah di atas 80 tahun, seperti pengakuannya. Kulit mukanya masih lumayan kencang. Giginya pun nampak kokoh. Kecuali dua di bagian atas. Itupun karena patah, bukan tanggal.Idealnya, ia berusia di kisaran 65 tahun. Ubannya pun hannya di bagia ubun-ubun. Sementara lainnya masih hitam legam.

“Memang banyak yang tidak peracaya (usia saya 80-an), tapi mereka yang seusia saya, hampir tidak ada (sudah meninggal) saat ini,” tegasnya. Sepertinya ia serius dengan ucapannya. Namun, saat berjalan tampak ia tertatih-tatih layaknya wanita yang sudah sangat tua! Kami berjalan menuju sebuah rumah kecil, namun sangat cantik. Pintu dan jendelanya berukir bunga, menyerupai maha karya pemahat Jepara. Di dalamnya, makam Datuk Asysyaikh Tuan Guru Haji Ahmad Tretetet berada.


Saat Sakiyah hendak membuka daun pintu, mulutnya tak henti-henti berkomat-kamit. Surat Al Fatihah, Al Ikhlas, An Naas, adalah beberapa ayat yang terdengar jelas ia lafazkan. Kendati dengan sirr.

“Assalamu’alaikum datuuk,” ujarnya, pada sosok yang diyakini menghuni makam itu.

Wanita tua itu terus saja berbicara satu arah. ‘Mengirimkan’ doa-doa keberkatan, agar ia mendapati barokahnya.

Di dalam, sungguh ruangannya sangat bersih. Nyaris tak ada sarang laba-laba di setiap lubang-lubang angin. Aromanya segar alami, meski tanpa pengharum. Di sebelah utara atas, foto berwarna Datuk Asysyaikh Tuan Guru Haji Ahmad Tretetet, terpampang dengan ukuran 50 x 50 cm. Ekspresi sang datuk, sangat ceria. Senyumnya mengembang lebar.

“Yang datang berziarah kemari, sangat banyak. Sebagian besar dari Lombok Timur. Seperti, Pancor, Kelayu, Tanjung Teros dan Mamben,” tutur Maskiyah.Ya, banyaknya jamaah Lombok Timur yang menziarahi makam Datuk Asysyaikh TGH Ahmad Tretetet bukan tanpa sebab. Dari beberapa informasi yang diserap Lombok Post, konon nama asli beliau adalah, TGH Ahmad Badarudin. Sementara, ayahnya bernama TGH Umar dan ibu Hj Amnah.

Sementara, nama ‘tretetet’ sendiri ditambahi karena beliau kerap mengucap kata itu. “Kalau saya dan beberapa orang justru tidak mengetahui siapa orang tua beliau. Yang kami tahu, ia punya sudara di sini, Hajah Maryam. Tapi beliau juga sudah wafat,” jawabnya.

Sakiah mengatakan, Datuk Asysyaikh TGH Ahmad Tretetet pernah tinggal di karang Kelok. Tuan guru ini sangat dekat dengan anak-anak. Tak hanya itu, selama hidup Sakiyah, ia tak pernah mendengar ucapan apapun selain hahaha (tertawa), halal dan tretetet.

Selain tiga kata itu, ia tak pernah mendengar ada ucapan lain. Jika beliau ditawari makanan, maka dengan spontan ia akan menanyakan itu halal atau tidak.

Makam Datuk Asysyaikh TGH Ahmad Tretetet, juga kerap dijadikan tempat meminta ‘obat’. Seperti yang koran ini temui waktu itu, warga Karang Mas-Mas, Yulianti datang berziarah dengan harapan, ada keberkahan atas doa-doa yang dip
anjatkan demi kesembuhan ibundanya yang disebutnya mengalami sakit aneh.


“Dulu kata dokter, dia sakit TBC, tapi setelah dinyatakan sembuh, darah itu masih saja keluar. Bahkan, terlihat lebih kental, seperti orang yang habis gorok (potong, red),”tutur Yulianti.

Ia juga mengaku telah kesana-kemari mencari obat. Meminta bantuan dokter modern, hingga tabib China. Tapi hasilnya tetap nihil. “Semoga ibu saya bisa sembuh, setelah saya berdo’a (wasilah) di sini,” tandasnya.

Melengkapi cerita Datuk Asysyaikh TGH Ahmad Tretetet, di mata Maskiyah rasanya tidak lengkap jika belum mengupas Qaromahnya. Beliau disebutnya mampu ‘membelah’ diri jadi banyak. Sejenis jurus Kage Bunshin no Jutsu, film anime Naruto, kalau ada yang pernah nonton.

Dengan kemampuan itu, dia kerap memimpin salat di tempat berbeda. Tak hanya itu, beberapa jemaah haji dibuat terkaget-kaget, karena sesampai di tanah suci, Ia mendapati sang Guru, sudah ada di sana.

“Bahkan saat meninggal juga, banyak yang kaget, karena ada juga yang bertemu beliau di sana,” ujarnya.

Tak hanya itu, kebakaran hebat yang pernah melanda salah satu kawasan di Lombok Barat – tidak dijelaskan persis dimana tempatnya – pernah terjadi dan diyakini karena warganya pelit bersedekah padanya. Namun, ada pula yang tetap tertimpa musibah, meski sudah bersedekah.

Kata Maskiyah, itu karena orang tersebut tidak memberi dengan hati yang tulus ikhlas. “Makanya setiap kali diberi, beliau selalu tanya ‘halal-halal?’ itu untuk memastikan, itu bukan barang curian, atau diberi dengan berat hati atau tulus,” tandasnya.

Di tempat yang berbeda, dari penuturan Lalu Muksin, warga Lombok Tengah, juga pernah melihat, sang Guru kerap dibawa menggunakan tandu ke masjid. Namun, anehnya, ketika orang-orang khusyuk beribadah salat, ia justru tidur terlentang semaunya.

“Ada yang bilang, sebenarnya dia yang asli tengah salat Jumat di Makkah,” yakinnya.(Lalu muhammad zaenudin/Mataram/r6)



Share:

0 ulasan:

Post a Comment

TERIMA KASIH TELAH BERKUNJUNG PECINTA NAHDATUL WATHAN/ POKOKNYA NW / POKOK NW IMAN DAN TAQWA / cintanw.blogspot.com
SEPUTAR SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM DI NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSANTARA INDONESIA

HIMPUNAN SEJARAH

Popular Posts